Total Tayangan Halaman

Senin, 25 Januari 2010

EMOTIONAL FOR SUCCES

Oleh Boy Hadi Kurniawan
Dahulu orang menilai, bahwa kesuksesan itu tergantung pada kecerdasan intelektual (IQ). Seseorang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, diasumsi dan dipersepsikan akan menjadi orang yang sukses. tetapi kenyataan berkata lain, tidak semua orang yang ber IQ tinggi menjadi orang yang sukses. bahkan sangat banyak diantaranya yang menjadi criminal, menjadi penjahat, menjadi orang yang dibenci orang lain karena sikapnya yang menyakiti orang lain ataupun hanya sekedar menjadi pekerja atau staf biasa di Perusahaan dan instansi pemerintah. Lebih dari itu juga banyak yang menjadi pengangguran.
Berdasarkan hasil riset, pada tahun 1995, Daniel Goleman menulis sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence. Daniel goleman mengatakan, bahwa kesuksesan seseorang itu tidak ditentukan oleh IQ saja, tapi oleh kecerdasan emosional. Bahkan dia mengatakan 80 % kesuksesan ditentukan oleh Emotional Intelligence ini. Kecerdasan emosional ini adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dan menggunakan kekuatan emosinya untuk mencapai tujuan hidup maupun dalam berinteraksi dengan orang lain.
Daniel Goleman mengatakan bahwa manusia memiliki otak emosional yang disebut amygdala. Otak emosional ini lebih kuat dari otak rasional, karena ketika otak emosional ini bekerja, maka dia akan membajak otak rasional. Sebagai contoh ketika seseorang sedang dicekam ketakutan saat itu otak emosionalnya bekerja, maka orang itu kehilangan kesadaran atau rasionalitasnya dalam mengambil tindakan. Oleh karena itu ketika otak emosional ini berhasil diberdayakan maka dia akan menjadi kekuatan yang luar biasa untuk mendorong otak rasional manusia. Salah satunya untuk memperkuat daya ingat atau memory manusia. Peristiwa atau kejadian yang kita ingat adalah peristiwa yang mempengaruhi kita secara emosional, baik ketika peristiwa itu terjadi kita merasa sedih, gembira, takut, marah ataupun senang. Otak kita akan bekerja dalam keadaan optimal ketika kita berada dalam keadaan gembira dan senang. Sebaliknya ketika kita dalam keadaan takut, tertekan atau cemas, saat itu otak kita tidak berfungsi dengan baik. Makanya salah satu teknik yang digunakan dalam quantum learning, untuk memiliki daya ingat super adalah mengaitkan hal yang ingin kita ingat dengan emosi kita. Artinya belajar akan mampu masuk kedalam memory jangka panjang jika berada dalam situasi emosi yang kondusif yaitu gembira dan senang. Konsep belajr dalam quantum learning yaitu “learning is fun”, atau belajar itu menyenangkan dan menggembirakan.

Daniel Goleman mengatakan beberapa ciri orang yang memiliki kecerdasan emosional antara lain: pertama, kemampuan untuk mengenali emosi diri. Kedua, kemampuan untuk mengelola emosi. Ketiga, kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri. Keempat, kemampuan untuk mengenali emosi dan berempati pada orang lain. Dan Kelima kemampuan untuk membina hubungan.
Penjelasannya sebagai berikut. Pertama, Kemampuan untuk mengenali emosi ini berarti adanya kesadaran diri terhadap situasi emosi yang dirasakan. Ada suatu kisah yang diceritakan Daniel Goleman. Seorang samurai yang suka bertarung, menantang seorang Guru Zen (spiritual) untuk menjelaskan konsep surga dan neraka. Guru tersebut menjawab dengan meremehkan samurai tersebut sambil berkata ‘ saya tidak perlu melayani dan menjawab pertanyaan orang seperti engkau, hanya membuang-buang waktuku saja”. Samurai itu merasa marah, lalu mengeluarkan samurainya. Kemudian Guru Zen itu berkata “Itulah Neraka”. Mendengar perkataan Guru Zen itu, samurai itu tersadar akan emosinya yang tidak terkendali lalu, dia kembali menyarungkan samurainya. Melihat itu Guru zen itu berkata “Itulah Surga”. Samurai itu merasa takjub, dan mengucapkan terima kasihnya kepada kebijaksanaan Guru Zen itu dalam menjelaskan konsep surge dan neraka.
Kisah ini menceritakan, bagaimana seorang samurai itu dapat mengenali emosinya dalam keadaan marah ketika diremehkan oleh guru zen. Ketika dia sadar sudah terperangkap dalam kemarahan, lalu kemudian dia mengontrol dirinya. Inilah yang dimaksud dengan ciri kecerdasan emosi yang pertama, yaitu kemampuan untuk mengenali emosinya sendiri.
Kedua, kemampuan untuk mengelola emosi, yaitu kemampuan untuk tidak menjadikan diri terperangkap dan terjebak dalam situasi emosi yang tidak terkendali dan budak bagi nafsunya sendiri. Untuk menggambarkan betapa pentingnya kemampuan untuk mengendalikan diri dan mengelola emosi ini, Daniel Goleman menceritakan sebuah kisah percobaan yang dilakukan oleh Walter Mischel seorang ahli Psikolog dari Stanford University pada tahun 1960, pada beberapa orang murid TK berusia 4 sampai 5 tahun. mereka menyukai sejenis kue yang disebut Marshmallow. Pada percobaan itu murid-murid itu diberi masing-masing kue marshmallow dimana mereka boleh memakannya langsung sekarang juga. Akan tetapi jika mereka mampu untuk bersabar tidak memakan kue itu selama 15 – 20 menit, maka mereka akan mendapatkan kue tambahan 2 buah marshmallow lagi. Beberapa orang murid mampu melakukannya, dengan cara ada yang menutup matanya agar tidak melihat kue itu, ada yang berpura-pura tidur dan berbagai aktivitas lainnya. Namun ada juga beberapa orang yang langsung menyambar kue itu ketika diberikan. Setelah 14 tahun kemudian, ketika anak-anak itu beranjak remaja, ternyata anak-anak yang mampu menahan diri tidak memakan marshmallow saat itu juga, menjadi remaja yang lebih cakap secara social, lebih mampu bergaul dan beradaptasi dengan orang lain, dan lebih berprestasi dibandingkan dengan teman-temannya yang langsung memakan kue ketika diberikan.
Kisah ini menceritakan bagaimana pentingnya kemampuan mengelola dan mengendalikan emosi. Emosi yang harus dikendalikan itu seperti rasa marah dan rasa sedih. Kebanyakan orang yang tidak mampu mengendalikan rasa marah, tidak akan mampu berhasil dalam hubungan dengan orang lain, cendrung dijauhi dan tidak disukai. Banyak terjadi peristiwa kejahatan seperti, perkelahian, kekerasan dalam rumah tangga, dan pembunuhan, disebabkan sipelaku tidak mampu mengendalikan rasa marah yang dimilikinya. Begitu juga dengan rasa sedih. Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan rasa sedih dan kecewa yang dimilikinya, maka lama kelamaan orang tersebut dapat mengalami depresi sampai tingkat depresi berat, sehingga orang tersebut bisa mengalami gangguan jiwa bahkan gila. Orang yang memiliki kecerdasan emosi mampu untuk mengendalikan dirinya tidak terlalu larut dalam keadaan tersebut, dengan cara berpikir yang positif (positive thinking) dan perasaan yang positif (positive feeling).
Ciri kecerdasan emosi yang ketiga yaitu kemampuan untuk memotivasi dirinya. Penelitian dilakukan pada grand master catur internasional semenjak mereka kecil. Salah satu penyebab mereka mampu melakukan latihan selama bertahun-tahun dengan sabar dan bersemangat, sehingga mereka dapat berprestasi adalah kemampuan mereka untuk memotivasi diri. Mereka telah melatih dirinya semenjak berusia 7 tahun. Sedangkan mereka yang menonjol di tingkat nasional, rata-rata memulai latihannya pada usia 10 tahun. Semua atlit-atlit berprestasi dan juara-juara sekolah, adalah mereka-mereka yang memiliki kemampuan untuk memotivasi dirinya agar berlatih dan belajar secara tekun semenjak dini, walaupun tidak disuruh atau didorong orang lain. Fenomena ini terjadi di Amerika, dimana akhir-akhir ini profesi dokter dan hokum, banyak diisi oleh anak-anak amerika keturunan asia. Seakan-akan mereka lebih pintar dan lebih tinggi IQ nya dari anak-anak amerika kulit putih, padahal tingkat IQ nya sama. Penyebabnya ditemukan oleh Sanford Dorensbuch, ahli sosiologi dari Stanford University, ternyata anak-anak asia amerika itu menghabiskan waktu 40 % lebih banyak dalam mengerjakan pekerjaan rumah daripada murid lainya. Artinya mereka lebih tekun dan lebih banyak berlatih, karena memiliki motivasi dalam dirinya.
Harapan juga merupakan kekuatan motivasi besar yang dimiliki oleh orang yang memiliki kecerdasan emosional. C.C Snyder Ahli psikologi dan University of Kansas melakukan study membandingkan prestasi akademik mahasiswa tahun pertama yang memiliki harapan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki harapan lebih rendah. Walaupun tingkat IQ mereka sama, namun mahasiswa yang memiliki harapan yang lebih tinggi, memiliki prestasi akademis yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang harapannya lebih rendah.
Daniel Goleman mengatakan “harapan menurut penemuan peneliti-peneliti modern, lebih bermanfaat daripada memberikan sedikit hiburan ditengah kesengsaraan; harapan memainkan peran yang menakjubkan manfaatnya dalam kehidupan, memberikan suatu keunggulan dalam bidang-bidang yang begitu beragam seperti prestasi belajar dan keberhasilan memikul tugas-tugas yang berat. Harapan, dalam artian teknis, adalah lebih daripada pandangan yang optimis bahwa segala sesuatunya akan menjadi beres.
Optimisme juga merupakan kekuatan motivasi yang mencirikan kecerdasan emosional. Sebuah penelitian yang dilakukan Martin Selligman pada Matt Biondi seorang anggota tim olimpiade AS pada olahraga renang. Sebelum bertanding orang memprediksikan Matt Biondi akan akan meraih medali emas. Namun dia gagal pada nomor pertamanya, yaitu gaya bebas 200 meter. Kemudian dia kalah lagi pada nomor gaya kupu-kupu. Tapi Matt Biondi selalu optimis dan pantang menyerah. Terbukti dia meraih medali emas pada 5 nomor yang tersisa, walaupun telah mengalami 2 kegagalan sebelumnya. Sikap optimism Matt Biondi ini sudah diteliti oleh Martin Selligman, ketika Biondi melakukan latihan. Pelatih Biondi dan selligman sepakat memberikan informasi yang salah tentang catatan waktu biondi ketika berenang. Mereka mengatakan waktunya lebih buruk padahal waktu yang dicatat biondi sudah baik. Kemudian Biondi istirahat dan memulai lagi percobaan lombanya, Biondi mencatat waktu yang lebih baik lagi dari yang sebelumnya. Berbeda dengan perenang lain yang dikatakan bahwa waktunya buruk, justru pada percobaan berikutnya prestasi mereka menjadi lebih buruk.
Selligman kemudian menyimpulkan pengertian optimism adalah dalam kerangka bagaimana orang memandang kegagalan dan keberhasilan. Orang yang optimis menganggap kegagalan sebagai sesuatu yang dapat diubah sehingga mereka yakin kedepan mereka dapat berhasil. Sementara orang pesimis menerima kegagalan sebagai kesalahannya sendiri, yang sudah mendarah daging dan tidak dapat diubahnya.
Kecerdasan emosi yang keempat yaitu kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain dan berempati kepada mereka. Kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain adalah kemampuan yang sangat penting untuk membangun hubungan baik, membuat kita disukai ataupun menghindarkan manusia dari tindakan kejahatan pada orang lain. Orang yang empati adalah orang mampu mengenali perasaan orang dari tindakan, ekspresi, kata-kata, nada bicara atau membaca bahasa non verbal manusia. Emosi biasanya memang tidak terungkap melalui kata-kata, tapi terungkap melalui bahasa non verbal. Orang yang tidak memiliki empati ini disebut aleksitisme, suatu keadaan dimana orang itu bingung terhadap perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Orang yang tidak memiliki empati, cendrung menjadi psikopat, pembunuh, pemerkosa dan tindakan kejahatan lainnya. Sebaliknya orang yang memiliki empati akan mudah peduli, mengasihi, mau membantu, mau mendengarkan orang lain. Dalam sebuah penelitian terhadap 1011 anak, untuk mengetahui tingkat empati mereka. Mereka yang dapat membaca perasaan orang lain, cendrung menjadi anak yang lebih popular dan menjadi kesayangan guru-gurunya.
Kecerdasan emosi yang kelima adalah kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Menurut Daniel Goleman kemampuan membina hubungan dengan orang lain ini disebut juga dengan kecerdasan social (Social intelligence). Orang yang memiliki kemampuan ini, memiliki kematangan dan keterampilan emosional terutama kemampuan manajemen diri dan empati. Sebagai contoh ada seorang anak kecil yang berkelahi gara-gara mainan dengan kakaknya, sehingga dia menangis. Kemudian ibu anak ini memarahi kakaknya sehingga kakaknya yang menangis. Namun anak kecil ini kemudian berusaha menghibur dan mendiamkan kakaknya yang menangis ini dengan berbagai cara. Inilah contoh kecerdasan emosi yang dimiliki anak ini. Dia memiliki kemampaun menahan dirinya untuk tidak memanfaatkan kesempatan ketika kakaknya dimarahi ibunya, justru dia yang menghibur kakaknya. Kemampuan untuk mengendalikan emosinya sendiri, kemudian mencoba mengatasi permasalahan emosi orang lain dengan menghibur dan menyenangkan orang lain inilah ciri kecerdasan emosi. Hal ini menjelaskan kenapa orang yang berotak cerdas, bisa gagal membangun hubungan rumah tangga, gagal dalam membangun tim kerja yang baik dan bermasalah dengan saudara-saudara dan koleganya. Ketidakmampuan dalam membina hubungan ini dapat mengakibatkan bencana social dan bencana antarpribadi. Oleh karena itu kecerdasan emosi ini sangat penting dimiliki seseorang dalam rangka membangun hubungan, mengilhami orang lain, membina kedekatan, meyakinkan, mempengaruhi dan membuat orang lain merasa nyaman dekat dengannya.
Inilah beberapa rahasia dan cirri kecerdasan emosional. Bagaimana dengan diri kita? Kita dapat menjadikan ini sebagai ukuran dan perbandingan apakah diri kita sudah memiliki kecerdasan emosi atau kecerdasan emosi kita masih rendah. Pengalaman hidup penulis menyatakan bahwa kecerdasan emosi ini memang sangat praktis dan aplikatif dalam membangun kesuksesan dalam hubungan keluarga, hubungan bisnis dan hubungan pertemanan. Tanpa kecerdasan emosi ini hubungan-hubungan yang harus kita bina dengan baik tadi dapat menjadi duri dan masalah dalam hidup kita yang akhirnya dapat menyebabkan kita mengalami kesulitan, persoalan bahkan kegagalan dalam membangun cita-cita kesuksesan kita. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain. Kalau kita ingin meraih kesuksesan sejati jadilah orang yang cerdas emosi, kenali emosi diri, kendalikan emosi diri, motivasi diri, kenali perasaan orang lain dan peduli pada mereka , lalu bangunlah hubungan baik dengan mereka, maka lihatlah hidup kita akan lebih bahagia dan bercahaya.

Tidak ada komentar:

CONSISTENT TO SUCCESS

CONSISTENT TO SUCCESS